Monday, March 13, 2017

Momok Layanan Pendidikan

  Tahun ajaran baru menjadi momok sebagian orang tua yang akan menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan berikutnya. Mau titak mau mereka harus berhitung keras berapa dana yang  kududisediakan untuk memasukkan putra-putrinya di sekolah-sekolah terbaik. Mulai dana untuk uang pendaftaran, pengembangan institusi, seragam dan buku. Inilah hantu liberalisasi layanan pendidikan yang  menakutkansetiap awal tahun ajaran sekolah jenjang pendidikan dasar dan menengah. 
  Sekolah tidak ubahnya seperti pasar  layanan jasa komersial, mereka yang memiliki modal ekonomi cukup akan berkesempatan memperoleh posisi tawar lebih untuk mendapatkan layanan sekolah terbaik. Akibatnya, layanan pendidikan bermutu disekolah-sekolah unggulan tidak lagi ramah kepada para pemilik keterbatasan ekonomi. Singkatnya, jika tidak mampu jangan mimpi mendaftar di sekolah unggulan dengan layanan terbaiknya. Pernyataan seperti ini tidak jarang keluardari pemangku kekuasaan layanan pendidikan sebagai satu-satunya solusi yang ditawarkan. 
 
Realitas tersebut memberikan gambaran kepada kita betapa arahpenyelenggaraan pendidikan terasa semakin menjauh dari semangat cita-cita bernegara bangsa ini. Karena mencerdaskan kehidupan bangsa pada dasarnya dapat dimaknai sebagai “memberikan kesempatan yang sama kepada anak bangsa untuk menjadi cerdas”. Tidak salah jika ada sebagian kita merasa bahwa kini sudahmendesak untuk mengembalikan arah penyelenggaraan layanan pendidikan pada orientasi amanat Pancasila dan UUD 1945.  Negara dengan berbagai instrumen yang dimilikiharus lebih dirasakan kehadirannya untuk menjamin kesempatan yang sama bagimasyarakat dalam memperoleh layanan pendidikan terbaik.   
  Liberalisasi layanan pendidikan bukanlah  jalan terbaik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebab justeru akan menyingkirkan anak-anak bangsa lain dalam persaingan individual karena keterbatasan sosio ekonominya, meskipun mereka memiliki potensi. Liberalisasi dalam pengertian yang umum adalah sebuah proses untuk menerapkan paham kebebasan. Karena basisnya adalahkebebasan, maka ia meniadakan atau setidaknya menekan sekecil mungkin campur tangan negara atau otoritas sosial lainnya.  Dalam konteks layanan pendidikan,liberalisasi pelayanan ditandai dengan menguatnya penghargaan  dan posisi tawar terhadap individu yang memiliki modal sosial ekonomi untuk memilih dan memperoleh layanan dari sekolah terbaik.
  Sebaliknya, pada saat yang sama posisitawar individu lain yang tidak memiliki modal sosial ekonomi cukup semakin tertekan menurun sehingga mereka tidak akan mampu mengakses layanan sekolah dengan mutu terbaiknya.  Gejala terjadinya liberalisasi layanan pendidikan antara laindapat dirasakan pada momen-momen penerimaan peserta didik baru, ditandai dengan pemberlakuan berbagai pungutan untuk biaya pendidikan. Semakin baik mutupelayanan sekolah, dalam pengertian sekolah unggul dan pavorit, maka semakin banyak ragam dan besar jumlah pungutan yang dikenakan. Akibatnya mereka yang memiliki modalsosial ekonomi kuat yang lebih berpeluang dapat menikmati layanannya.  Liberalisasi layanan pendidikan juga menyebabkan perilaku penyelenggaran layanan yang berorientasi pada praktik bisnis pendidikan ketimbang kewajiban pelayanan itu sendiri.
Bentuk  nyatanya di lapangan bisa berupa penahanan ijasah, penahanan kartu ujian, dll. Tindakan menahan ijasah, kartu ujian dll tersebut dijadikan sebagai instrumen untuk "mengikat" pemenuhan kewajiban pembayaran biaya pendidikan siswa di akhir tahun ajaran. Bukankah cara-cara yang sama juga dilakukan perusahaan terhadap pelanggannya? Praktik penahanan ijasah, kartu ujian dll tersebut adalah adopsi dari pelaksanaan Hak Retensi dalam hubungan perdata bisnis. Penjual sebagai pemberi layanan bisnis memang memiliki hak untuk menahan produk layanan yang (harusnya) diberikan sampai si pembeli sebagai pengguna/pencari layanan bisnis sampai  memenuhi kewajiban pembayarannya,   Betul bahwa saat ini ada berbagai skema bantuan pendanaan sosial, baik dari pemerintah pusat  maupun pemerintah daerah.
  Sayangnya berbagai skema bantuan pendanaan sosial tersebut bukan merupakan instrumen yang dapat dijadikan alat untuk mencegah maraknya praktik penyelenggaraan  layanan pendidikan yang liberalistik. Buktinya, sampai saat ini praktik pungutan, penahanan ijasah, kartu ujian, raport dll masih terjadi. Sehingga begitubanyak pertanyaan tentang penggunaan kuota 20% anggaran dari APBN/APBD yang setiap tahun digelontorkan untuk membiayai pendidikan? Prosentase anggaran pendidikan dalam APBN/APBD harusnya cukup untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan secara lebih adil, jika saja komponen gaji pendidik, tunjangan sertifikasi dll tidak termasuk yang harus dibiayai dari alokasi anggaran tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak lagi menghadapi problem pendanaan yang selama ini selalu dijadikan legitimasi dalam melanggengkan praktik pungutan, demikian juga seakan-akan memberikan pembenaran terhadap praktik penahanan ijasah dll. Negara melalui pemerintah tidak bisa melepaskan dan membebaskan sekolah sebagai penyelenggara layanan pendidikan, baik sekolah negeri maupun swasta, melakukan pungutan sehingga mendorong terjadinya liberalisasi layanan pendidikan. Perlu ada instrument untuk mengendalikannya.
  Selama ini,praktik pungutan misalnya, apalagi di sekolah-sekolah swasta, nyaris tidak adakendali negara. Pungutan dengan modus sumbangan, dari mulai sumbangan pengembangan institusi sampai dengan rekreasi perpisahan, kebanyakan hanya menggunakan legitimasi "sudah sisepakati orang tua siswa”. Ini terjadi hampir disemua sekolah,terutama sekolah swasta.  Meskipun pungutan dalam terminologi hukum harusnya baru dibenarkan bila ada dasar hukum yang melandasinya,  dan dilakukan oleh petugas yang memiliki kewenangan hukum untuk memungut.
  Dalam praktiknya, pungutan begitu leluasa terjadimeski tidak cukup memiliki dasar hukum yang jelas, dan dilakukan oleh pihakyang tidak memiliki kewenangan hukum melakukan pungutan. Peran negara dalammengawasi prktik-pratik pungutan seperti ini terasa masih sangat lemah,khususnya yang terjadi pada lembaga pendidikan swasta.  Upaya pencegahannya juga masih sangatminim.   Untuk mencegah agar liberalisasi layanan pendidikan tidakmenjadi idiologis, maka negara harus hadir melalui berbagai penguatan peranpemerintah dalam melakukan pengawasan dan pencegahannya, tidak hanya terhadapsekolah-sekolah negeri, namun juga sekolah swasta.  Peran pengawasan dapat dilakukan denganmembentuk dan melaksanakan berbagai instrument peraturan hukum yang melarang maupunmengatur. Bahkan, jika diperlukan, ada tindakan hukum yang tegas bagisekolah-sekolah yang melanggarnya.

No comments:

Post a Comment

Komunikasi Intra Personal

Dari semua pengetahuan dan keterampilan yang kita miliki, pengetahuan dan keterampilan yang menyangkut komunikasi termasuk di antara yang...