Tahun ajaran baru menjadi momok sebagian orang
tua yang akan menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan berikutnya. Mau titak
mau mereka harus berhitung keras berapa dana yang kududisediakan untuk
memasukkan putra-putrinya di sekolah-sekolah terbaik. Mulai dana untuk uang
pendaftaran, pengembangan institusi, seragam dan buku. Inilah hantu liberalisasi
layanan pendidikan yang menakutkansetiap awal tahun ajaran sekolah
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Sekolah tidak ubahnya seperti pasar
layanan jasa komersial, mereka yang memiliki modal ekonomi cukup akan
berkesempatan memperoleh posisi tawar lebih untuk mendapatkan layanan sekolah
terbaik. Akibatnya, layanan pendidikan bermutu disekolah-sekolah unggulan tidak
lagi ramah kepada para pemilik keterbatasan ekonomi. Singkatnya, jika tidak
mampu jangan mimpi mendaftar di sekolah unggulan dengan layanan terbaiknya.
Pernyataan seperti ini tidak jarang keluardari pemangku kekuasaan layanan
pendidikan sebagai satu-satunya solusi yang ditawarkan.
Liberalisasi layanan pendidikan bukanlah
jalan terbaik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebab justeru akan
menyingkirkan anak-anak bangsa lain dalam persaingan individual karena
keterbatasan sosio ekonominya, meskipun mereka memiliki potensi. Liberalisasi
dalam pengertian yang umum adalah sebuah proses untuk menerapkan paham
kebebasan. Karena basisnya adalahkebebasan, maka ia meniadakan atau setidaknya
menekan sekecil mungkin campur tangan negara atau otoritas sosial
lainnya. Dalam konteks layanan pendidikan,liberalisasi pelayanan ditandai
dengan menguatnya penghargaan dan posisi
tawar terhadap individu yang memiliki modal sosial ekonomi untuk memilih dan memperoleh
layanan dari sekolah terbaik.
Sebaliknya, pada saat yang sama posisitawar
individu lain yang tidak memiliki modal sosial ekonomi cukup semakin tertekan menurun
sehingga mereka tidak akan mampu mengakses layanan sekolah dengan mutu terbaiknya.
Gejala terjadinya liberalisasi layanan pendidikan antara laindapat dirasakan
pada momen-momen penerimaan peserta didik baru, ditandai dengan pemberlakuan
berbagai pungutan untuk biaya pendidikan. Semakin baik mutupelayanan sekolah,
dalam pengertian sekolah unggul dan pavorit, maka semakin banyak ragam dan
besar jumlah pungutan yang dikenakan. Akibatnya mereka yang memiliki modalsosial
ekonomi kuat yang lebih berpeluang dapat menikmati layanannya.
Liberalisasi layanan pendidikan juga menyebabkan perilaku penyelenggaran
layanan yang berorientasi pada praktik bisnis pendidikan ketimbang kewajiban
pelayanan itu sendiri.
Bentuk nyatanya di lapangan bisa berupa
penahanan ijasah, penahanan kartu ujian, dll. Tindakan menahan ijasah, kartu
ujian dll tersebut dijadikan sebagai instrumen untuk "mengikat"
pemenuhan kewajiban pembayaran biaya pendidikan siswa di akhir tahun ajaran.
Bukankah cara-cara yang sama juga dilakukan perusahaan terhadap pelanggannya?
Praktik penahanan ijasah, kartu ujian dll tersebut adalah adopsi dari
pelaksanaan Hak Retensi dalam hubungan perdata bisnis. Penjual sebagai pemberi
layanan bisnis memang memiliki hak untuk menahan produk layanan yang (harusnya)
diberikan sampai si pembeli sebagai pengguna/pencari layanan bisnis sampai
memenuhi kewajiban pembayarannya, Betul bahwa saat ini ada
berbagai skema bantuan pendanaan sosial, baik dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
Sayangnya berbagai skema bantuan pendanaan
sosial tersebut bukan merupakan instrumen yang dapat dijadikan alat untuk
mencegah maraknya praktik penyelenggaraan layanan pendidikan yang liberalistik.
Buktinya, sampai saat ini praktik pungutan, penahanan ijasah, kartu ujian,
raport dll masih terjadi. Sehingga begitubanyak pertanyaan tentang penggunaan
kuota 20% anggaran dari APBN/APBD yang setiap tahun digelontorkan untuk
membiayai pendidikan? Prosentase anggaran pendidikan dalam APBN/APBD harusnya
cukup untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan secara lebih adil, jika saja komponen
gaji pendidik, tunjangan sertifikasi dll tidak termasuk yang harus dibiayai
dari alokasi anggaran tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak lagi menghadapi
problem pendanaan yang selama ini selalu dijadikan legitimasi dalam melanggengkan
praktik pungutan, demikian juga seakan-akan memberikan pembenaran terhadap
praktik penahanan ijasah dll. Negara melalui pemerintah tidak bisa melepaskan
dan membebaskan sekolah sebagai penyelenggara layanan pendidikan, baik sekolah negeri
maupun swasta, melakukan pungutan sehingga mendorong terjadinya liberalisasi layanan
pendidikan. Perlu ada instrument untuk mengendalikannya.
Selama ini,praktik pungutan misalnya, apalagi
di sekolah-sekolah swasta, nyaris tidak adakendali negara. Pungutan dengan
modus sumbangan, dari mulai sumbangan pengembangan institusi sampai dengan
rekreasi perpisahan, kebanyakan hanya menggunakan legitimasi "sudah
sisepakati orang tua siswa”. Ini terjadi hampir disemua sekolah,terutama sekolah
swasta. Meskipun pungutan dalam terminologi hukum harusnya baru dibenarkan
bila ada dasar hukum yang melandasinya, dan dilakukan oleh petugas yang
memiliki kewenangan hukum untuk memungut.
Dalam praktiknya, pungutan begitu leluasa terjadimeski tidak cukup
memiliki dasar hukum yang jelas, dan dilakukan oleh pihakyang tidak memiliki
kewenangan hukum melakukan pungutan. Peran negara dalammengawasi prktik-pratik
pungutan seperti ini terasa masih sangat lemah,khususnya yang terjadi pada
lembaga pendidikan swasta. Upaya pencegahannya juga masih sangatminim.
Untuk mencegah agar liberalisasi layanan pendidikan tidakmenjadi
idiologis, maka negara harus hadir melalui berbagai penguatan peranpemerintah
dalam melakukan pengawasan dan pencegahannya, tidak hanya terhadapsekolah-sekolah
negeri, namun juga sekolah swasta. Peran pengawasan dapat dilakukan
denganmembentuk dan melaksanakan berbagai instrument peraturan hukum yang
melarang maupunmengatur. Bahkan, jika diperlukan, ada tindakan hukum yang tegas
bagisekolah-sekolah yang melanggarnya.
No comments:
Post a Comment